Dari sebuah kampung persinggahan bagi kapal VOC dan kapal dagang menuju ketika Petapahan, daerah Senapelan berkembang menjadi Ibu Kota Kerajaan Siak. Pada masa Raja Alam/Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah, Raja IV Kerajaan Siak (1761-1765) memerintah, dia memindahkan Ibu Kota Kerajaan Siak di Mempura ke Senapelan pada bulan Juli 1763. Tujuan pemindahan ibu kota kerajaan adalah untuk mendekatkan kerajaan dengan pelabuhan bagian dalam Pulau Sumatra yaitu Petapahan. Selain itu juga untuk menjauhkan ibu kota kerajaan dari loji/benteng VOC di Pulau Guntung. Dalam surat pemberitahuan bertarik 5 Juli 1763 dari Raja Alam yang diterima VOC Malaka, pemindahan Ibu Kota Kerajaan Siak dari Mempura ke Senapelan telah dilaksanakan.
Kurang lebih satu bulan kemudian, pada 4 Agustus 1763, Raja Alam kemudian menaklukkan Petapahan. Wilayah di hulu Sungai Siak ini sejak tahun 1685 merupakan wilayah otonom dari Kerajaan Johor. Selain menaklukkan Petapahan, Raja Alam juga memindahkan pelabuhan komoditas yang dibuka oleh Raja Mahmud pada tahun 1753 dari Petapahan ke Senapelan. Dalam perjalanan Raja Alam di Senapelan, pada tahun 1764, Raja Alam sudah membangun istananya di Senapelan. Senapelan yang sempat menjadi Ibu Kota Kerajaan Siak kemudian kembali menjadi pelabuhan interior (bagian dalam) Sumatera pasca Raja Yahya atau Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah memerintah, Sultan VI Kerajaan Siak (1781-1796) ini memindahkan Ibu Kota Kerajaan Siak kembali ke Mempura pada 13 Februari 1783. Raja Muhammad Ali/Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, Sultan V Kerajaan Siak (1765-1779) setelah ditaklukan sepupunya, Raja Ismail atau Sultan Ismail Abdul Jalil Syah (1760-1761 dan 1779-1781), Sultan Siak III memilih menetap di Senapelan daripada tinggal di Mempura. Di Senapelan dia membangun salah satu pusat perdagangan di Kerajaan Siak.
Perkembangan Senapelan kemudian dicatat dalam catatan Imam Suhil Kerajaan Siak, pada 23 Juni 1784, Raja Muhammad Ali berada di Senapelan kemudian membuka membuka pasar baru. Tujuan dibukanya pasar ini untuk meningkatkan arus perdagangan dari Sumatera bagian dalam menuju Semenanjung Malaka. Pasar yang dibuka oleh Raja Muhammad Ali berada di tepian Sungai Siak dan diberi nama Pekan Baharu/Pekanbaru29. Pasar ini sekarang menjadi Kota Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Sebutan Senapelan berubah menjadi Pekanbaru yang menjadi pusat perdagangan baru menghubungkan antara Sumatera Timur dan Sumatera Barat ke Semenanjung Malaya.
Perjalanan Pekanbaru sebagai pelabuhan penting Kerajaan Siak berlanjut. Pada tahun 1823, Pekanbaru sudah menjadi pasar dan jalur distribusi penting di Sumatera Tengah39. Di antara berbagai komoditas yang dijual itu adalah gambir. Harga gambir di Singapura pada tahun 1832 yang dibawa dari Pekanbaru sebesar 6 dolar Spanyol atau Dia melihat ada 50 sampai 60 sampan kajang di Pekanbaru. Komoditas utama dari Pekanbaru 751.000 rupiah per pikul40. Elisa Netscher, Residen Riau saat datang ke Pekanbaru pada tahun 1862, menuliskan bahwa Pekanbaru masih menjadi sentra perdagangan Pantai Barat dan Timur Sumatera. Saat itu adalah rotan selain itu kopi, damar dan resin. dan jumlah penduduk Pekanbaru pada saat itu mendekati 1.000 jiwa.
Posisi Pekanbaru yang strategis kemudian menjadikan kota ini menjadi titik penting perdagangan di Pantai Timur Sumatera terutama setelah tersambungnya jalan PayakumbuhBangkinang-Pekanbaru pada tahun 1930.
Berbicara mengenai Pekanbaru, tidak bisa lepas perdagangan dan Sungai Siak sebagai “jalan tol” menuju Semenanjung. Malaya saat itu, Sungai Siak dan Pekanbaru merupakan dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Perdagangan via Sungai Siak dimulai sejak kawasan di hulu Sungai Siak yaitu membawa timah. Pada bulan November 1674, di mana terhitung 124 bahar atau 32.4 ton timah tiba di Malaka, timah ini dibawa oleh pedagang Minangkabau yang melewati jalur Sungai Siak. Beserta timah, terdapat juga surat dari penguasa Petapahan dan Kota Ranah yang dibawa ke Malaka43.
Selain orang melayu, minangkabau, dan tionghoa, perdagangan di Pekanbaru juga melibatkan perantau dari pulau Jawa. Pada tahun 1910, di Pekanbaru terdapat perusahaan karet dengan investor dari Inggris. Perkebunan ini bernama The Pakan Baroe Rubber Estates Limited yang didirikan pada bulan Desember 1910 di London dengan modal perusahaan 65.000 poundsterling. Konsesi perusahaan Pekanbaroe Rubber bernama Soeka Djadi dan Tjinta Radja, dengan luas afdeling masing masing 3540 ha dan 3540 ha87. Konsesi ini berumur 75 tahun dihitung dari 10 Desember 1907.
Setelah perusahaan karet berdiri, mereka kemudian membawa pekerja dari pulau Jawa. Para pekerja ini kemudian membangun perkampungan yang berada di wilayah Pantai Nyamuk88 (sekarang berada di Kampung Nyamuk, Kota Pekanbaru), kampung ini dipimpin oleh seorang penghulu berkebangsaan Jawa89. Dari kampung ini kemudian orang-orang Jawa berkembang di Pekanbaru ditambah lagi saat pembangunan rel kereta api Pekanbaru Muaro sepanjang 220 Km. Romusha dari pulau Jawa kemudian menetap di Pekanbaru dan memulai hidup di kota ini.
Dari berbagai rentang waktu yang dijalani oleh Kota Pekanbaru dapat dilihat bahwa proses akulturasi ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu sehingga kemudian menjadi wajar jika Pekanbaru menjadi kota multi etnis. Hal ini pun terlihat dari tinggalan atau pembangunan landmark, maupun Warisan Budaya Tak Benda yang ada di Kota Pekanbaru.
Tentang Sungai Siak yang membelah Pekanbaru, sungai ini dari dahulu menjadi jalur nadi penting perdagangan pada masa Raja Muhammad Ali/Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1765-1779) memerintah. Sultan membuka jalan dari Teratak Buluh ke Pekanbaru189 dan jalan setapak ini memudahkan akses dari Pantai Barat dan Timur Sumatera menuju pesisir timur Sumatera menuju Malaka. Pembukaan jalan Pekanbaru-Teratak Buluh merubah lanskap perdagangan hulu Sungai Siak yang sebelumnya via Petapahan kemudian berpindah via Teratak Buluh. Karena Teratak Buluh, Tahun 1865. Tengku Besar Sayid Hamid (Sultan IV Pelalawan) “memaksa” pedagang Lima Kota Kampar untuk berdagang via Sungai Kampar. Sayid Kasim I (Sultan Siak X, 1864-1889) kemudian melobi dan membuat kesepakatan dengan para pedagang di Lima Kota dengan memberikan diskon pajak serta perlindungan pada kapal-kapal dari Teratak Buluh yang memilih melewati jalan setapak ke Pekanbaru kemudian Sungai Siak190 Perselisihan ini menyebabkan terjadi perang di Teratak Buluh dan pedagang dari Lima Koto lebih memilih lewat Sungai Siak dari pada Pelalawan sehingga perdagangan via sungai Kampar mulai berkurang.
Sungai Siak kemudian menjadi sebuah jalan “tol” yang sibuk pada zamannya namun kemudian menjadi sepi setelah kita tidak lagi melihat sungai dan menggunakan jalan darat sebagai distribusi logistik.
Judul: Pekanbaru Kota Bertuah
Penerbit: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pekanbaru
Penulis: Bayu Amde Winata, Budy Utamy.
Penyunting, Tania Dwika Putri.
Desainer: Rona Rizka.
Ukuran: 20×20
Halaman: 122