Kota. Suatu frasa yang bukan hanya mengandung artian sebagai suatu daerah perumahan dan bangunan-bangunan sebagaimana yang tertera di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lebih dari itu, bagi saya kota merupakan suatu subjek sosial yang mencakup sifat keruangan yang memegang andil sangat besar terhadap pertumbuhan, perkembangan sampai perlindungan setiap objek yang hidup didalamnya.
Jika kita telisik lebih dalam lagi,memang begitulah sejatinya hakikat dari sebuah kota, tak terkecuali kota kita tercinta yakni Pekanbaru, yang saat ini sedang giat-giatnya membangun setiap aspek kehidupan di dalamnya dengan semangat trilogi falsafah kerja pemerintah kotanya. Membangun Pekanbaru berlandaskan dimensi akhlak, karakter, dan kualitas. Mulia sekali semangat itu. Semangat yang faktanya juga mampu menyulut semangat diri ini, yang hanya seorang pelajar biasa, remaja tanggung yang masih berkutat dengan buku dan pena, untuk dapat menjadi pucuk pimpinan dari kota kelahiran . Terkesan muluk memang, namun bukankah orang tua kita beramanat untuk jangan pernah meremehkan mimpi dan cita-cita bukan ? Buktinya, berkat keinginan yang masih dapat disebut mimpi tersebut saya pun ada, yang diwakilkan oleh setiap gores kata yang terpatri di lembar karya ini. Mungkin sekarang saya hanya dapat berangan serta berimajinasi untuk meciptakan perubahan bagi negeri ini, namun mungkin suatu saat saya dapat berdiri di depan, ikut menyingsingkan lengan baju dan turun langsung ke lapangan demi memastikan bahwa setiap individu di kota ini mendapatkan apa yang dinamakan dengan sebuah kesejahteraan.
Saya sendiri pun paham bagaimana beratnya mengemban amanah menjadi seorang pemimpin, apalagi walinya sebuah kota. Saya sendiri pernah ingat suatu ketika diangkat menjadi seorang ketua organisasi non formal. Ketika saat itu saya sebagai ketua salah satu seksi belum mampu untuk berkomunikasi secara baik dengan para anggota, maka alhasil sebagus apapun program yang direncanakan pada akhirnya tidak membuahkan hasil yang maksimal. Karena begitulah selayaknya seorang pemimpin, ia mampu menjadi pelayan bagi yang dipimpinnya.
Melihat Pekanbaru saat ini, pun kita dengan bersama-sama dapat melihat geliat pembangunan yang seperti tak ada hentinya. Pusat perkantorannya megah luar biasa, gedung tinggi merebak hampir dimana-mana, arena rekreasi dan ruang terbuka hijau ( RTH ) jangan ditanya. Ya, Pekanbaru yang diarahkan menjadi kota metropolitan yang madani memang sudah di depan mata. Namun, hal inilah yang menyisakan tanya di benak saya, yang sekali lagi hanya seorang pelajar biasa, bagaimana dengan pembangunan manusianya ?
Memanusiakan manusia. Untaian kata nan inspiratif itulah yang akan saya jadikan pedoman dalam setiap aspek pembangunan Pekanbaru seandainya saya diberi kesempatan untuk menjadi walikotanya. Tentu, dalam hal ini terutama dalam hal pembangunan sumber daya manusianya. Sebuah tujuan besar tergambar jelas di benak saya. Dengan lantangnya saya mengimpikan setiap elemen masyarakat di Kota Pekanbaru nantinya dapat memberikan kontribusi positif, baik secara individu, kelompok maupun korporasi.
Saya sadar betul, bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia terkhusus masyarakat Pekanbaru pada dasarnya adalah manusia-manusia yang peduli dengan lingkungan sekitarnya, tapi terkadang lingkungan itu sendirilah yang menghambat mereka untuk dapat memberikan kontribusi baik berupa ide, opini sampai sebuah aksi, yang pada akhirnya menyebabkan suatu efek layaknya efek bumerang, yakni mereka malah menjadi acuh tak peduli . Jika diibaratkan, bak anak singa yang terlalu lama untuk diizinkan berburu oleh induknya, sampai akhirnya naluri dan insting berburu alamiahnya hilang dengan sendirinya.
Ketika saya nantinya menjadi walikota, saya ingin seluruh masyarakat merasa bahwa mereka semua mampu untuk berkontribusi. Bukan layaknya kisah singa tadi, yang hanya menunggu hasil buruan dari induknya, namun juga harus mampu untuk berburu sendiri. Contoh sederhana saja, dapat kita lihat bagaimana menjamurnya berbagai macam gerakan sosial yang menyuarakan bahkan langsung mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan tanpa sedikitpun mengharapkan pamrih. Dapat kita simpulkan, satu hal yang mampu menggerakkan mereka hanya satu, yakni kepedulian. Berkaitan dengan hal ini pula, besar harapan ini mimpi saya tadi dapat terwujud. Yakni, bahwa setiap individu di republik khusunya kota ini memiliki rasa kepedulian yang sama, menyokong pemimpinnya dengan semangat yang sama. Sama hati sama rasa. Kita pasti bisa !
Menyongsong mimpi besar ini kedepannya, tak pelak memang harus memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang besar. Aksi nyata adalah harga mati. Dari kursi orang nomor satu di kota ini pun saya akan bersungguh-sungguh untuk berdedikasi. Memberikan karya terbaik bagi negeri lewat perjuang birokrasi yang akan saya transformasikan menjadi sistem birokrasi yang humanis, tranparan, berintegritas yang tak lupa disokong oleh kemajuan teknologi . Sekali lagi, memanusiakan manusia dalam artian yang sesungguhnya. Mari kita ingat lagi, bagaimana Anies Baswedan menuturkan kekayaan terbesar suatu bangsa sejatinya bukan terletak pada sumber daya alamnya, melainkan pada kekuatan sumber daya manusianya. Ini jelas peringatan untuk kita semua.
Sampai disini, setiap kata di karya ini menghantarkan saya pada sebuah asa baru untuk terus berani bermimpi. Berani bermimpi untuk membuat hal besar, sesuatu yang berarti bagi negeri. Sebagaimana kita semua tahu, nenek moyang kita telah menitipkan bangsa ini, setelah perjuangannya yang menyisakan bercak darah yang kini mengering di batu nisan makam damainya. Berharap perjuangannya tak sia-sia, dilanjutkan dengan niat suci serta semangat membangun negeri. Bukan dikecewakan oleh individu-indidividu maupun korporasi yang hanya mementingkan materi.
Pada akhirnya, semua mimpi ini pulalah yang membawa cakrawala berfikir ini untuk berefleksi, mengetuk pintu hati, bahwasanya menjadi seorang walikota bukanlah sesuatu yang pantas untuk disepelekan, terlebih sambil gigit jari. Karena pada dasarnya, menjadi seorang walikota jelas adalah suatu amanat besar dari rakyat. Menjadi seorang walikota tentu harus mampu menjadi pundak tanggungan bagi rakyat untuk menitipkan harap. Menjadi seorang walikota tentu harus mampu untuk menjadi mitra masyarakat. Dan menjadi seorang walikota tentulah harus mampu memanusiakan manusia. Sekali lagi, dalam artian sebenarnya.
.
Kini sudah waktunya bersiap diri, sampai jumpa saat walikota anda adalah saya, Iqbal Novanda !
“Tulisan ini di ikut sertakan dalam Lomba Hari Jadi Kota Pekanbaru ke 233 Tahun 2017”
Nama Penulis : Iqbal Novanda
Nama Sekolah : SMA Plus Pekanbaru