Identitas
Judul buku : Dari Kebatinan Senapelan Ke Bandaraya Pekanbaru; Menelisik Jejak Sejarah Kota Pekanbaru 1784-2005
Penulis : Suwardi MS, Wan Gahlib, Isjoni, Zulkarnain
Penerbit : Pemerintah Kota Pekanbaru bekerjasama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Riau dan Penerbit Alaf Riau 2006
Tahun terbit : 2006/444-2006
Halaman : 230
Orientasi
Buku Dari Kebatinan Senapelan Bandaraya Pekanbaru Menelisik Jejak Sejarah Kota Pekanbaru 1784-2005 merupakan buku tentang perjalanan panjangsejarah kota ini yang dimulai ketika Pekanbaru masih dalam bentuk perkumpulan kesukuan (batin) sampai memasuki era otonomi daerah. Buku ini pada dasarnya revisi dari buku Sejarah Kota Pekanbaru yang ditulis oleh Bapak Wan Ghalib tahun 1980. Bila dihitung waktunya sejak buku tersebut diterbitkan sampai dengan sekarang berarti sudah menempuh 26 tahun.
Penerbitan edisi Buku Dari Kebatinan Senapelan Ke Bandaraya Pekanbaru Tahun 2005 ini merupakan jawaban atas amanah yang disampaikan oleh Wan Ghalib sebagai penulis pertamanya. Tepat pada Hari Ulang Tahun Kota Pekanbaru tanggal 17 Mei 1980, Buku Sejarah Kota Pekanbaru berhasil di terbitkan.
Sinopsis
Jauh sebelum disebutnya nama “Pekanbaru”, daerah yang merupakan inti daerah Kota Pekanbaru sekarang, dikenal sebagai “Senapelan”. Asal nama Senapelan ini berasal dari nama pohon kayu “sena”. Daerah Senapelan ini meliputi Pekanbaru sekarang, Tampan, Palas, dan sampai ke Kuala Tapung (Bencah Kelubi). Suku Senapelan ini dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut “Batin”. Batin Senapelan sebagaimana umumnya kepala-kepala suku di kala itu, perkampungannya baru yang diberi nama “Payung Sekaki”. Kampung baru ini terletak di muara anak sungai yang kemudian dinamakan sesuai dengan nama suku tersebut, yaitu Sungai Senapelan.
Pada zaman berdirinya Kampung Payung Sekaki itu, memang belum didapat data-datanya yang pasti, tetapi diperkirakan sekitar abad ke 15M. Nama Payung Sekaki ini tidak begitu dikenal, dan yang lebih dikenal adalah nama Senapelan. Bahkan Senapelan dikenal sampai ke Melaka dan Johor.
Kebatinan Senapelan yang makin hari semakin berkembang, dengan sendirinya menjadi perhatian daerah tetangganya, terutama tetangga yang terdekat, yaitu Petapahan di Tapung Kiri. Perkembangan Senapelan selanjutnya sejalan dan berhubungan erat dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Setelah meninggalnya Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah (Raja Kecil) tahun 1745, sebagai Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama, terbitlah sengketa antara kedua putra beliau dalam memperebutkan singgasana kerajaan.
Akibat serangan-serangan inilah, maka Batin Senapelan berusaha memindahkan perkampungannya dari Palas ke Payung Sekaki. Apalagi posisi muara Sungai Senapelan ideal untuk kepentingan pertahanan. Keadaan alam muara Sugai Senapelan belum seperti sekarang ini.
Dengan demikian, Senapelan menjadi tempat penumpukan bagi komoditi perdagangan, baik barang dari luar untuk ke pedalaman maupun dari pedalaman untuk diangkut keluar. Tahun 1722 kerajaan Siak Sri Indrapura mulai berdiri. Dengan berdirinya kerajaan ini, dengan terputuslah kekuasaan Johor atas Sungai Siak, sehingga perjanjian antara Johor dengan Belanda tidak dapat diberlakukan lagi.
Dengan tidak disadari, Senapelan atau Payung Sekaki memegang peranan penting dalam lalu lintas perdagangan. Letak Senapelan yang strategis dan kondisi Sungai Jantan (Sungai Siak) yang tenang dan dalam, telah menyebabkan Senapelan memegang posisi silang. Keadaan yang demikian merupakan tempat yang subur pula bagi hidupnya para penyamun. Selain itu, di muara Sungai Kampar telah menunggu pula “beno” yang sangat berbahaya dan belum ada keahlian untuk melewati tempat yang berbeno tersebut.
Sultan Abdul Jalil Alamudinsyah ke Mempura (Siak) dan memilih menetap di Senapelan, maka daerah ini mengalami era baru dalam terkembangan selanjutnya. Sultan lebih memilih tempat kedudukannya di Senapelan, karena itu dengan sendirinya Senapelan menjadi pusat Kerajaan Siak. Sultan Alamudin membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan sumber kampungan Senapelan. Dari berbagai sumber diperkirakan istana tersebut terletak di sekitar Masjid Raya Pekanbaru sekarang.
Kembalinya utusan mereka dari Senapelan, maka pemerintahan tertinggi Belanda di Melaka mengirim surat kepada sultan yang intinya meminta supaya sultan kembali pindah ke Mempura. Waktu berada di Petapahan, Sultan Alamudinsyah melihat bagaimana ramainya perdagangan di sana yang merupakan pasar besar di pedalaman Sumatera. Selama memeritah, Sultan Muhammad Ali tetap berkedudukan di Senapelan.
Dan Senapelan pun berhasil direbut Sultan Ismail tahun 1779. Sultan Muhammad Ali terpaksa menyingkir ke Tapung, tetapi karena tidak mendapat sokongan, beliau kembali ke Senapelan menyerahkan diri. Sejak saat itu, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan, maka mulailah populer sebutan Pekan “Baharu” atau dalam bahasa sehari-hari disebut “Pekanbaru”. Bertitik tolak dari tanggal hari bulan tersebut lahirlah Kota Pekanbaru. Pekan yang baru didirikan tersebut kelihatannya memberikan hasil sebagaimana diharapkan Raja Muda Muhammad Ali, karena perkembangannya semakin pesat.
Kota Pekanbaru termasuk ke dalam Onderdistrict Senapelan dan langsung dipimping oleh districtshoofd. Onderdistrict Senapelan terbagi dalam kampung-kampung dan di dalam Kota Pekanbaru terdapat dua kepenghuluan, yaitu kepenghuluan Kampung Dalam dan kepenghuluan Kampung Baru.
Masuknya pengaruh Belanda dan akhirnya menjadikan daerah Kerajaan Siak ke dalam kekuasaan mereka langsung secara berangsur-angsur. Dimulai dengan hanya sekedar hubungan dagang, kemudian dilanjutkan dengan memberikan jasa-jasa baik kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam intern kerajaan. Perang Asia Timur Raya merupakan bahagian dari perang Dunia II. Pada masa ini balatentara Jepang telah meyerang dan menduduki negara-negara di Asia termasuk Indonesia.
Pada suatu hari dalam bulan Agustus 1945, oleh Riau Syu Cokang, Makino Suzaburo, semua pegawai pemerintah dikumpulkan di Gedung Bioskop Happy Pekanbaru, karena ada pengumuman penting yang akan disampaikan. Pada pertemuan ini Riau Syu Cokang dengan air muka yang keruh menyampaikan bahwa Tenno Heika (Kaisar Jepang) telah memerintahkan untuk menghentikan perang. Amerika telah menjatuhkan bom beracun atau bom atom di Hirosima dan Nagasaki yang telah memakan korban yang sangat besar.
Perkembangan Pekanbaru pada masa ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 aspek dominan yaitu pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke tangan Republik Indonesia dan Pekanbaru diserahkan oleh GTBA Glaubitz kepada Bupati Datuk Wan Abdul Rakhman.
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke tangan Republik Indonesia dan Pekanbaru yang diserahkan oleh GTBA Glaubitz kepada Bupati Datuk Wan Abdul Rakhman, maka dimulailah penyusunan kembali tata pemerintahan untuk Pekanbaru. Kabupaten Pekanbaru dihapuskan dan diganti dengan Kabupaten Kampar. Adapun Pekanbaru diberikan status sebagai Kota Kecil.
Sebelum dibentuknya Provinsi Riau, terlebih dahulu dimulai dengan kegiatan-kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk memisahkan daerah Riau dari Provinsi Sumatra Tengah. Dalam kedudukannya sebagai Ibukota Provinsi Riau ditambah potensi yang dimilikinya, Pekanbaru berperanan sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat perdagangan dan pusat industri. Perkembangan Pekanbaru bagian ini dimulai dari akhir Repelita IV sampai menjelang kejatuhan rezim Orde Baru tahun 1988.
Penulis : Finie Lestari
Editor : Attayaya Zam